Rabu, 23 April 2008
UTAMA
Pembebasan Tanah:Proyek APBN di Lampung Bermasalah
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Empat proyek APBN dan loan (bantuan investor) di Lampung senilai ratusan miliar belum dapat diselesaikan karena menunggu pembebasan tanah.
Keempat proyek itu pembangunan bendung penahan banjir di Desa Gunung Agung, Sekampung Udik, Lampung Timur; jalan lintas pantai timur (jalinpatim), saluran bendungan Way Ngambur, Lampung Barat; dan Bendungan Karet di Jabung, Lamtim.
"Kami khawatir proyek itu tidak bisa selesai tepat waktu padahal dananya sudah dianggarkan," kata anggota Komisi V DPR K.H. Abdul Hakim, kemarin (22-4).
Dari Gunung Agung, Hakim mendapat keluhan sejumlah warga yang merasa dirugikan atas pembangunan proyek Rp3,8 miliar tersebut. Selain kompensasi tanah tidak sesuai, warga khawatir pembangunan proyek tersebut membuat sebagian areal sawah yang berada di daerah limpasan sungai akan kekeringan.
Permasalahan tanah juga menjadi kendala pembangunan jalinpatim di daerah Ketapang dan Labuhan Maringgai yang menelan dana lebih Rp500 miliar. Sejak 2006, proyek yang didanai dari lembaga keuangan Pemerintah Jepang (JBIC--Japan Bank for International Cooporation) itu belum dapat diselesaikan.
"Kami berharap awal 2009 jalinpatim bisa diresmikan Presiden. Tapi, melihat permasalahan di lapangan, saya khawatir proyek ini akan terbengkalai karena pembebasan tanahnya belum selesai. Padahal dananya sudah kami siapkan sejak 2006," kata politisi PKS dari daerah pemilihan Lampung ini.
Hakim berharap pemerintah daerah segera menyelesaikan masalah ini. "Sayang kalau sampai Loan ini ditarik kembali lantaran proyek tidak selesai tepat waktu," ujarnya.
Proyek APBN lain yang tersandung kasus tanah adalah Bendung Karet di Jabung. Untuk pembangunan saluran primer di bendung ini, pemerintah mengalokasikan dana Rp14 miliar dalam APBN 2008.
Masalah serupa juga terjadi di Bendungan Way Ngambur di Lampung Barat. Pembangunan saluran primer tidak dapat dilakukan karena tanahnya dikuasai KCMU, perkebunan kelapa sawit.
"Sebenarnya tanahnya sudah dibebaskan panitia, tapi entah bagaimana tanah tersebut lupa disertifikat. Akibatnya, tanah dikuasai pihak ketiga dan pembangunan saluran pun terhambat," kata Hakim. n ITA/U-1
Senin, 09 Juni 2008
Kliping Elektronik Lampung Post Kamis, 24 April 2008
Kamis, 24 April 2008
BANDAR LAMPUNG
Proyek APBN:Kurang Pengawasan,Kebocoran Tinggi
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Setiap tahun pemerintah pusat mengucurkan dana ratusan miliar untuk pembangunan infrastruktur di Lampung. Namun, kurangnya pengawasan dan komitmen pemerintah untuk melaksanakan anggaran secara jujur dan efisien menyebabkan kebocoran dana APBN cukup tinggi.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah kerusakan jalan yang cukup parah di Lampung. Anggota Komisi V DPR RI K.H. Abdul Hakim mengatakan kebocoran anggaran khususnya APBN menyebabkan infrastruktur di Lampung buruk.
Menurut dia, dana yang dikucurkan pusat untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan di Lampung sudah memadai. Apalagi dana yang dikucurkan bersifat multi-years. Namun, fakta di lapangan kerusakan jalan di Lampung kian parah.
"Kerusakan jalan yang kian parah di Lampung kiranya dapat diselesaikan dengan anggaran yang ada. Pemerintah tidak perlu berdalih anggaran terbatas. Kalau pelaksanaan pekerjaannya sesuai rencana dan tidak ada kebocoran anggaran, bukan mustahil tercipta infrastruktur yang baik dan sustainable," kata Hakim, yang baru saja menyelesaikan kunjungan resesnya di Lampung.
Menurut Hakim, tahun ini pemerintah pusat mengucurkan dana sebesar Rp897 miliar lebih untuk pembangunan infrastruktur di Lampung. Dari jumlah tersebut, Rp437 miliar dianggarkan untuk pembangunan jalan dan Rp14,9 miliar untuk pemeliharaan jalan dan jembatan.
"Untuk menyelesaikan permasalahan rusaknya infrastruktur jalan nasional di Lampung, Departemen PU memberikan alokasi dana sebesar Rp14,9 miliar untuk pemeliharaan jalan. Sedangkan untuk program peningkatan dan pembangunan jalan dan jembatan mendapat alokasi dana terbesar mencapai Rp437 miliar," kata Hakim.
Selain infrastruktur jalan, sektor pengairan dan perhubungan juga mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Untuk proyek irigasi di Lampung, tahun ini pusat mengucurkan dana sebesar Rp172 miliar dan Rp172 miliar untuk sektor perkeretaapian.
Sedangkan untuk sektor lalu lintas dan angkutan jalan, dana APBN yang dikucurkan di Lampung mencapai Rp7,3 miliar hanya untuk pemasangan lampu rambu dan markah jalan, pemasangan APILL tenaga surya dan manajemen lalu lintas.
"Dana APBN yang dikucurkan tahun ini untuk Lampung cukup besar. Agar bisa optimal, kami mengimbau pemerintah pusat dan daerah agar sungguh-sungguh melaksanakan anggaran dengan baik, jujur dan efisien. Sebab percuma saja anggaran besar tapi tidak ada komitmen pemerintah untuk melaksanakan anggaran dengan baik," ujarnya. n ITA/K-2
BANDAR LAMPUNG
Proyek APBN:Kurang Pengawasan,Kebocoran Tinggi
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Setiap tahun pemerintah pusat mengucurkan dana ratusan miliar untuk pembangunan infrastruktur di Lampung. Namun, kurangnya pengawasan dan komitmen pemerintah untuk melaksanakan anggaran secara jujur dan efisien menyebabkan kebocoran dana APBN cukup tinggi.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah kerusakan jalan yang cukup parah di Lampung. Anggota Komisi V DPR RI K.H. Abdul Hakim mengatakan kebocoran anggaran khususnya APBN menyebabkan infrastruktur di Lampung buruk.
Menurut dia, dana yang dikucurkan pusat untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan di Lampung sudah memadai. Apalagi dana yang dikucurkan bersifat multi-years. Namun, fakta di lapangan kerusakan jalan di Lampung kian parah.
"Kerusakan jalan yang kian parah di Lampung kiranya dapat diselesaikan dengan anggaran yang ada. Pemerintah tidak perlu berdalih anggaran terbatas. Kalau pelaksanaan pekerjaannya sesuai rencana dan tidak ada kebocoran anggaran, bukan mustahil tercipta infrastruktur yang baik dan sustainable," kata Hakim, yang baru saja menyelesaikan kunjungan resesnya di Lampung.
Menurut Hakim, tahun ini pemerintah pusat mengucurkan dana sebesar Rp897 miliar lebih untuk pembangunan infrastruktur di Lampung. Dari jumlah tersebut, Rp437 miliar dianggarkan untuk pembangunan jalan dan Rp14,9 miliar untuk pemeliharaan jalan dan jembatan.
"Untuk menyelesaikan permasalahan rusaknya infrastruktur jalan nasional di Lampung, Departemen PU memberikan alokasi dana sebesar Rp14,9 miliar untuk pemeliharaan jalan. Sedangkan untuk program peningkatan dan pembangunan jalan dan jembatan mendapat alokasi dana terbesar mencapai Rp437 miliar," kata Hakim.
Selain infrastruktur jalan, sektor pengairan dan perhubungan juga mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Untuk proyek irigasi di Lampung, tahun ini pusat mengucurkan dana sebesar Rp172 miliar dan Rp172 miliar untuk sektor perkeretaapian.
Sedangkan untuk sektor lalu lintas dan angkutan jalan, dana APBN yang dikucurkan di Lampung mencapai Rp7,3 miliar hanya untuk pemasangan lampu rambu dan markah jalan, pemasangan APILL tenaga surya dan manajemen lalu lintas.
"Dana APBN yang dikucurkan tahun ini untuk Lampung cukup besar. Agar bisa optimal, kami mengimbau pemerintah pusat dan daerah agar sungguh-sungguh melaksanakan anggaran dengan baik, jujur dan efisien. Sebab percuma saja anggaran besar tapi tidak ada komitmen pemerintah untuk melaksanakan anggaran dengan baik," ujarnya. n ITA/K-2
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2006
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 65 TAHUN 2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005
TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN
PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, dipandang perlu mengubah Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2106);
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 288, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2324);
5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501);
6. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 angka 3 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 1
3. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.”
2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 2
(1) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
(2) Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
3. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 3
Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.”
4. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 5
Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :
a. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
c. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
e. tempat pembuangan sampah;
f. cagar alam dan cagar budaya;
g. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.”
5. Ketentuan Pasal 6 ayat (5) diubah, sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 6
(1) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota.
(2) Panitia Pengadaan Tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur.
(3) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah provinsi yang dibentuk oleh Gubernur.
(4) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah provinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur Pemerintah Daerah terkait.
(5) Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) terdiri atas unsur perangkat daerah terkait dan unsur Badan Pertanahan Nasional.”
6. Ketentuan Pasal 7 huruf c diubah, sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 7
Panitia pengadaan tanah bertugas :
a. mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
b. mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya;
c. menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
d. memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak, maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah;
e. mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi;
f. menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah;
g. membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;
h. mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.”
7. Menambah Pasal 7A yang berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 7A
Biaya Panitia Pengadaan Tanah diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional.”
8. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 10
(1) Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ketempat atau lokasi lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama.
(2) Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.
(3) Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka panitia menitipkan uang ganti rugi kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.”
9. Ketentuan Pasal 13 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 13
Bentuk ganti rugi dapat berupa :
a. Uang; dan/atau
b. Tanah pengganti; dan/atau
c. Pemukiman kembali; dan/atau
d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
10. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf a diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 15
(1) Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas :
a. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia;
b. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan;
c. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
(2) Dalam rangka menetapkan dasar perhitungan ganti rugi, Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.”
11. Menambah Pasal baru antara Pasal 18 dan Pasal 19 menjadi Pasal 18A, yang berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 18A
Apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya.”
Pasal II
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Juni 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum,
Lambock V. Nahattands
NOMOR 65 TAHUN 2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005
TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN
PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, dipandang perlu mengubah Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2106);
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 288, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2324);
5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501);
6. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 angka 3 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 1
3. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.”
2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 2
(1) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
(2) Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
3. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 3
Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.”
4. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 5
Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :
a. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
c. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
e. tempat pembuangan sampah;
f. cagar alam dan cagar budaya;
g. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.”
5. Ketentuan Pasal 6 ayat (5) diubah, sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 6
(1) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota.
(2) Panitia Pengadaan Tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur.
(3) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah provinsi yang dibentuk oleh Gubernur.
(4) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah provinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur Pemerintah Daerah terkait.
(5) Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) terdiri atas unsur perangkat daerah terkait dan unsur Badan Pertanahan Nasional.”
6. Ketentuan Pasal 7 huruf c diubah, sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 7
Panitia pengadaan tanah bertugas :
a. mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
b. mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya;
c. menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
d. memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak, maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah;
e. mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi;
f. menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah;
g. membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;
h. mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.”
7. Menambah Pasal 7A yang berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 7A
Biaya Panitia Pengadaan Tanah diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional.”
8. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 10
(1) Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ketempat atau lokasi lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama.
(2) Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.
(3) Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka panitia menitipkan uang ganti rugi kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.”
9. Ketentuan Pasal 13 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 13
Bentuk ganti rugi dapat berupa :
a. Uang; dan/atau
b. Tanah pengganti; dan/atau
c. Pemukiman kembali; dan/atau
d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
10. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf a diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 15
(1) Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas :
a. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia;
b. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan;
c. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
(2) Dalam rangka menetapkan dasar perhitungan ganti rugi, Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.”
11. Menambah Pasal baru antara Pasal 18 dan Pasal 19 menjadi Pasal 18A, yang berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 18A
Apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya.”
Pasal II
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Juni 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum,
Lambock V. Nahattands
Kliping Elektronik Lampung Post,Senin, 24 Maret 2008
Senin, 24 Maret 2008
RUWA JURAI
Lamtim - Sawah Dipasangi Patok, Warga Dua Dusun Resah
SEKAMPUNG UDIK (Lampost): Warga dua dusun di Desa Gunung Agung, Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur, mengaku resah dengan pemasangan patok-patok di lahan mereka yang diduga untuk pembangunan tanggul.
Menurut sejumlah warga di Dusun III dan VIII, beberapa orang memasang patok pada 12 Maret lalu di persawahan mereka. Warga resah karena mereka pernah mengalami hal serupa saat Dinas Pekerjaan Umum (PU) membangun tanggul di dusun itu pada Maret 2007.
Pembangunan tanggul itu, menurut warga, tidak dilakukan sesuai dengan aturan.
Menurut Tarman, salah seorang ketua kelompok tani di dusun itu, pembebasan lahan yang akan dijadikan tanggul hanya diberi tahu dalam waktu sepekan sebelum pengerjaan. "Kami, seluruh warga yang lahannya terkena proyek, dikumpulkan hanya kira-kira sepekan sebelum proyek itu berjalan," kata dia, beberapa hari lalu.
Menurut Tarman, sebelumnya mereka sudah memasang patok-patok. "Begitu sosialisasi dilakukan, sepekan kemudian alat-alat berat datang."
Selain waktu sosialisasi yang sangat singkat, warga juga tidak diberikan ganti rugi atas tanah mereka yang dijadikan jalur tanggul tersebut. "Yang diganti rugi itu hanya tanaman, obat, tenaga, dan modal bibit Mas," kata Tarman.
Mustamir, warga Dusun VIII, yang kehilangan sekitar 1.600 m®MDSU¯2 lahan persawahan miliknya mengatakan, "Saat itu pamong mengatakan tidak ada ganti rugi untuk tanah, yang diganti hanya tanaman dan biaya perawatan."Hal senada dialami Alim, yang kehilangan 2.400 m®MDSU¯2 lahan. "Saya cuma dapat ganti rugi Rp320 ribu."
Sementara itu, Tarman yang tidak menanami lahannya tidak mendapat apa-apa. "Saya punya tanah delapan rante (3.200 m®MDSU¯2), tapi karena tanah itu tidak ditanami, jadi saya tidak mendapat ganti rugi, padahal tanah itu bersertifikat," kata Tarman. Menurut Tarman, saat itu ada sekitar 34 keluarga yang menjadi korban pembangunan tanggul.
Selain permasalahan administrasi yang tidak sesuai, pembangunan tanggul itu menyebabkan sawah milik warga tidak produktif karena aliran air menjadi terbatas sehingga tidak seluruh sawah mendapatkan cukup air. "Dahulu sebelum ditanggul, satu hektare sawah di sini bisa dapat 115 karung, sekarang turun drastis tinggal 15 karung," kata Iwan, warga lain.
Sebanyak 33 keluarg yang tidak ingin kembali kehilangan tanah itu menggelar musyawarah di rumah Tarman, Selasa (18-3). Hasilnya, mereka memutuskan menolak Program Tanggul Penanggulangan Banjir di Dusun III dan Dusun VIII. Warga juga akan mengajukan hal ini kepada DPRD Lampung Timur jika permintaan mereka tak diindahkan.
Sementara itu, Kepala Dusun VIII, Nasib Nugroho, saat ditanyakan keluhan warga mengatakan sosialisasi pembangunan tanggul pada 2007 telah dilakukan dengan baik. "Seluruh warga dikumpulkan kira-kira sebulan sebelum pembangunan tanggul, sosialisasi dilakukan di balai desa dengan melibatkan warga, Dinas PU, polsek, dan koramil," kata Nasib.
Mengenai pematokan yang baru di sawah warga Dusun III dan VIII, Nasib mengaku tidak tahu apa-apa. "Saya memang kemarin diminta warga menandatangani surat menolak pembangunan tanggul yang baru, selain itu saya juga belum mendapat informasi dari Dinas PU."
n */R-2
RUWA JURAI
Lamtim - Sawah Dipasangi Patok, Warga Dua Dusun Resah
SEKAMPUNG UDIK (Lampost): Warga dua dusun di Desa Gunung Agung, Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur, mengaku resah dengan pemasangan patok-patok di lahan mereka yang diduga untuk pembangunan tanggul.
Menurut sejumlah warga di Dusun III dan VIII, beberapa orang memasang patok pada 12 Maret lalu di persawahan mereka. Warga resah karena mereka pernah mengalami hal serupa saat Dinas Pekerjaan Umum (PU) membangun tanggul di dusun itu pada Maret 2007.
Pembangunan tanggul itu, menurut warga, tidak dilakukan sesuai dengan aturan.
Menurut Tarman, salah seorang ketua kelompok tani di dusun itu, pembebasan lahan yang akan dijadikan tanggul hanya diberi tahu dalam waktu sepekan sebelum pengerjaan. "Kami, seluruh warga yang lahannya terkena proyek, dikumpulkan hanya kira-kira sepekan sebelum proyek itu berjalan," kata dia, beberapa hari lalu.
Menurut Tarman, sebelumnya mereka sudah memasang patok-patok. "Begitu sosialisasi dilakukan, sepekan kemudian alat-alat berat datang."
Selain waktu sosialisasi yang sangat singkat, warga juga tidak diberikan ganti rugi atas tanah mereka yang dijadikan jalur tanggul tersebut. "Yang diganti rugi itu hanya tanaman, obat, tenaga, dan modal bibit Mas," kata Tarman.
Mustamir, warga Dusun VIII, yang kehilangan sekitar 1.600 m®MDSU¯2 lahan persawahan miliknya mengatakan, "Saat itu pamong mengatakan tidak ada ganti rugi untuk tanah, yang diganti hanya tanaman dan biaya perawatan."Hal senada dialami Alim, yang kehilangan 2.400 m®MDSU¯2 lahan. "Saya cuma dapat ganti rugi Rp320 ribu."
Sementara itu, Tarman yang tidak menanami lahannya tidak mendapat apa-apa. "Saya punya tanah delapan rante (3.200 m®MDSU¯2), tapi karena tanah itu tidak ditanami, jadi saya tidak mendapat ganti rugi, padahal tanah itu bersertifikat," kata Tarman. Menurut Tarman, saat itu ada sekitar 34 keluarga yang menjadi korban pembangunan tanggul.
Selain permasalahan administrasi yang tidak sesuai, pembangunan tanggul itu menyebabkan sawah milik warga tidak produktif karena aliran air menjadi terbatas sehingga tidak seluruh sawah mendapatkan cukup air. "Dahulu sebelum ditanggul, satu hektare sawah di sini bisa dapat 115 karung, sekarang turun drastis tinggal 15 karung," kata Iwan, warga lain.
Sebanyak 33 keluarg yang tidak ingin kembali kehilangan tanah itu menggelar musyawarah di rumah Tarman, Selasa (18-3). Hasilnya, mereka memutuskan menolak Program Tanggul Penanggulangan Banjir di Dusun III dan Dusun VIII. Warga juga akan mengajukan hal ini kepada DPRD Lampung Timur jika permintaan mereka tak diindahkan.
Sementara itu, Kepala Dusun VIII, Nasib Nugroho, saat ditanyakan keluhan warga mengatakan sosialisasi pembangunan tanggul pada 2007 telah dilakukan dengan baik. "Seluruh warga dikumpulkan kira-kira sebulan sebelum pembangunan tanggul, sosialisasi dilakukan di balai desa dengan melibatkan warga, Dinas PU, polsek, dan koramil," kata Nasib.
Mengenai pematokan yang baru di sawah warga Dusun III dan VIII, Nasib mengaku tidak tahu apa-apa. "Saya memang kemarin diminta warga menandatangani surat menolak pembangunan tanggul yang baru, selain itu saya juga belum mendapat informasi dari Dinas PU."
n */R-2
Kliping Elektronik Lampung Post
Kamis, 3 April 2008
RUWA JURAI
Lamtim - Tanggul:Warga Lamtim Mengadu ke DPRD Lampung
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Tujuh warga Desa Gunung Agung, Sekampung Udik, Lampung Timur, mengadukan masalah pembangunan tanggul di desa mereka kepada Komisi A DPRD Lampung, Selasa (1-4).
Mereka diterima empat anggota Komisi A, yaitu Supriyadi Hamzah (ketua), Efan Tolani, Syabirin H.S. Koenang, dan Yudicarlo.
Ketujuh warga mengatasnamakan Paguyuban Korban Tanggul Desa Gunung Agung mengadukan permasalahan yang mereka alami, saat Maret 2007 lalu, Dinas Pekerjaan Umum membangun tanggul pencegah banjir di atas lahan sawah milik warga desa itu.
Iwan, sekretaris paguyuban, mengatakan, "Pembangunan tanggul di desa kami tidak sesuai peraturan, penyampaian informasi dilakukan setelah alat berat datang, begitu sosialisasi selesai, seminggu kemudian alat berat mulai bekerja."
Ponidi, warga lainnya, menjelaskan seluruh tanah yang digunakan tidak diberikan ganti rugi. "Saat sosialisasi di balai desa, kami diberitahu bahwa tanah tidak akan diberikan ganti rugi, ganti rugi hanya diberikan atas tanaman kami," jelas Ponidi.
Menurut Iwan, pembangunan tanggul yang melintasi desa mereka mencapai tiga kilometer dari total keseluruhan tanggul yang mencapai tujuh kilometer.
Selain menceritakan kasus yang terjadi tahun 2007 lalu, warga juga memberitahu adanya pematokan pada pertengahan Maret 2008 lalu. "Kami tidak ingin kembali kehilangan lahan kami," jelas Iwan.
Sutarman menambahkan pada 17 Maret lalu, mereka telah mengadakan pertemuan dengan warga dari Dusun III dan Dusun VIII. "Kami memutuskan untuk menolak rencana pembangunan tanggul tahap dua karena lahan kami akan habis," jelas Sutarman, warga yang kehilangan lahan seluas delapan rantai.
Mendengar penjelasan warga, Syabirin H.S. Koenang, anggota Komisi A dari Fraksi PAN, berjanji membantu warga Desa Gunung Agung. "Namun, data kerugian serta tuntutan warga harus kami pelajari dulu, sehingga kami dapat menghubungi pihak-pihak yang terkait segera," kata Sobirin. Efan Tolani, dari Fraksi PKS, juga berjanji membantu warga jika memang benar telah terjadi penyimpangan dalam pembangunan tanggul ini. Dia juga menyesalkan masih adanya praktek-praktek yang mencurangi rakyat. Efan menambahkan setelah berkas yang diperlukan lengkap, langkah yang akan diambil adalah memeriksa data, turun ke lapangan, berdialog dengan korban, dan akan memastikan siapa yang akan bertanggung jawab dengan proyek tersebut.
RUWA JURAI
Lamtim - Tanggul:Warga Lamtim Mengadu ke DPRD Lampung
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Tujuh warga Desa Gunung Agung, Sekampung Udik, Lampung Timur, mengadukan masalah pembangunan tanggul di desa mereka kepada Komisi A DPRD Lampung, Selasa (1-4).
Mereka diterima empat anggota Komisi A, yaitu Supriyadi Hamzah (ketua), Efan Tolani, Syabirin H.S. Koenang, dan Yudicarlo.
Ketujuh warga mengatasnamakan Paguyuban Korban Tanggul Desa Gunung Agung mengadukan permasalahan yang mereka alami, saat Maret 2007 lalu, Dinas Pekerjaan Umum membangun tanggul pencegah banjir di atas lahan sawah milik warga desa itu.
Iwan, sekretaris paguyuban, mengatakan, "Pembangunan tanggul di desa kami tidak sesuai peraturan, penyampaian informasi dilakukan setelah alat berat datang, begitu sosialisasi selesai, seminggu kemudian alat berat mulai bekerja."
Ponidi, warga lainnya, menjelaskan seluruh tanah yang digunakan tidak diberikan ganti rugi. "Saat sosialisasi di balai desa, kami diberitahu bahwa tanah tidak akan diberikan ganti rugi, ganti rugi hanya diberikan atas tanaman kami," jelas Ponidi.
Menurut Iwan, pembangunan tanggul yang melintasi desa mereka mencapai tiga kilometer dari total keseluruhan tanggul yang mencapai tujuh kilometer.
Selain menceritakan kasus yang terjadi tahun 2007 lalu, warga juga memberitahu adanya pematokan pada pertengahan Maret 2008 lalu. "Kami tidak ingin kembali kehilangan lahan kami," jelas Iwan.
Sutarman menambahkan pada 17 Maret lalu, mereka telah mengadakan pertemuan dengan warga dari Dusun III dan Dusun VIII. "Kami memutuskan untuk menolak rencana pembangunan tanggul tahap dua karena lahan kami akan habis," jelas Sutarman, warga yang kehilangan lahan seluas delapan rantai.
Mendengar penjelasan warga, Syabirin H.S. Koenang, anggota Komisi A dari Fraksi PAN, berjanji membantu warga Desa Gunung Agung. "Namun, data kerugian serta tuntutan warga harus kami pelajari dulu, sehingga kami dapat menghubungi pihak-pihak yang terkait segera," kata Sobirin. Efan Tolani, dari Fraksi PKS, juga berjanji membantu warga jika memang benar telah terjadi penyimpangan dalam pembangunan tanggul ini. Dia juga menyesalkan masih adanya praktek-praktek yang mencurangi rakyat. Efan menambahkan setelah berkas yang diperlukan lengkap, langkah yang akan diambil adalah memeriksa data, turun ke lapangan, berdialog dengan korban, dan akan memastikan siapa yang akan bertanggung jawab dengan proyek tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)